22 Desember 2018
Sampai tadi malam, dalam setahun terakhir ini, sosok itu hanya bisa hadir di mimpi Kana. Bagai sebuah legenda yang hampir mustahil dijumpai.
Ingatan terakhir Kana tentang perpisahan dengannya, Ia simpan dalam sebuah ruangan di hatinya dengan sangat hati-hati, serupa memperlakukan lukisan berharga yang berusia ratusan tahun. Khawatir sedikit saja kesalahan dalam gerakan, bisa merobek kertas lapuknya. Kana tidak mau hal itu terjadi. Gambaran dalam lukisan itu terlalu indah.
Tapi kini tiba-tiba legenda itu mewujud nyata di hadapan Kana.
Mengenakan setelan blue jeans dan kemeja abu-abu panjang yang digulung selengan. Simpel, tapi juga tak mampu menciutkan pesonanya yang terang benderang di tengah lalu lalang keramaian orang.
Rakha Pradikha berjalan perlahan menghampiri Kana. Ketenangannya justru membuat jantung Kana berdebar makin tak karuan.
“Kana, apa kabar?” tanya Rakha. Suara merdu itu kembali mengakrabi telinga Kana.
“Baik,” jawab Kana singkat, berusaha keras menutupi kegugupannya. Ia benar-benar masih belum percaya bahwa ini nyata.
“Apa kabar Sari?” Rakha ganti menatap Sari.
Sari yang berdiri di samping Kana mengangguk dan tersenyum ramah. Meski sama kagetnya dengan Kana, tapi dia bisa cepat menguasai diri. “Baik. Sejak kapan di Anyer?”
“Baru saja sampai. Aku langsung kesini.”
Rakha memandang Kana. Ekspresi terkejut sangat nyata tergambar di wajah manisnya.
“Kana, bisa bicara sebentar?” pinta Rakha
Sari gesit mengambil Log Book di tangan Kana.
“Take your time. Risma yang akan melanjutkan ini,” ujar Sari tegas. Lalu pergi meninggalkan mereka, sambil sebelumnya mengerling pada Rakha.
“Thank’s Sari,” seru Rakha.
“Any time.” Sari melambaikan tangannya tanpa menoleh.
“Kamu … apa kabar?” tanya Kana ragu-ragu sambil matanya berlarian kesana kemari.
“Aku baik.”
Sejenak suasana hening. Mata Kana masih sibuk berkelana mencari objek apa saja yang bisa dilihat, selain sosok di hadapannya.
"Kana, lihat aku."
Perlahan, mata Kana menepi pada sorot mata teduh yang ternyata sangat dirindukannya itu.
“Maaf kalau kehadiranku membuatmu terkejut.”
“Yah … aku sedikit terkejut.”
“Aku datang, untuk menguji ucapanmu setahun yang lalu.” Ucapan Rakha lembut dan tenang. Matanya menusuk tajam menembus bola mata Kana, lalu meluncur menuju hatinya.
Kana sedikit gentar ditatap sedemikian rupa oleh Rakha.
“Kamu salah, Kana. Kamu salah tentang semuanya. Tentang hatiku, juga tentang hatimu.”
Kana masih terdiam.
“Rasa yang ada di hatiku bukan sesaat. Waktu telah membuktikannya.”
Tenggorokkan Kana tercekat dan tak bisa berkata-kata.
“Perasaanku tidak berubah sedikitpun sejak saat itu. Tuduhanmu padaku salah besar.”
Ruangan di hati Kana yang menyimpan memori tentang mereka mendadak terbuka. Atau mungkin sebenarnya memang tidak pernah tertutup. Hanya saja selama ini Kana berusaha mengingkarinya.
“Dan aku pun tahu, kamu memiliki perasaan yang sama denganku. Aku bisa melihatnya dengan jelas, sejelas aku menatap matamu saat ini.”
“Lantas apa?” Suara Kana sedikit bergetar.
“Anggap semua yang kamu katakan itu benar. Lantas apa?” tanya Kana putus asa.
Rakha terkejut mendengar pertanyaan Kana.
“Aku tidak bisa melangkah kemanapun,” ucap kana akhirnya.
Bersambung ...
Komentar
Posting Komentar