Setelah empat tahun, kujejakkan kembali kaki di kota Yogyakarta, tempatku menuntut ilmu semasa kuliah. Kota istimewa yang menyimpan berjuta rupa kenangan dalam salah satu episode kehidupanku, tentang cita-cita dan cinta.
Adalah Kirana, adik kelasku di kampus yang sangat ayu dan cerdas, yang telah mencuri hatiku dan membuat kehidupan kampusku menjadi begitu indah penuh warna.
“Kamu pasti tahu perasaanku,” ucapnya d isuatu sore.
“Aku tahu, seperti kamu juga tahu perasaanku padamu,” balasku.
“Kamu … tidak mau main ke rumah?” tanyanya ragu-ragu.
Aku mahfum apa yang dimaksudkan Kirana. Selama ini aku beberapa kali mengunjungi rumahnya hanya ketika bersama teman-teman lainnya. Kirana ingin aku bertemu orangtuanya sebagai lelaki yang mencintai anak gadis mereka.
“Maaf, Rana. Aku masih sibuk menyelesaikan skripsiku. Aku belum bisa menyempatkan berkunjung ke rumahmu.”
“Baiklah, aku mengerti.”
Ada semburat kecewa di wajah ayu yang sangat meneduhkan itu. Bagiku, sebenarnya skripsi hanyalah alasan. Aku sungguh belum siap menjalin komitmen lebih serius dengan Kirana. Aku tahu betul, orangtuanya menginginkan putri semata wayangnya itu untuk cepat menikah setelah lulus kuliah. Namun aku rasanya belum sanggup untuk memenuhi itu.
Aku masih harus mendapatkan pekerjaan yang layak, agar bisa membantu membiayai sekolah adik-adikku. Sembari juga mencari beasiswa S2 seperti yang diamanatkan almarhum Ayahku.
“Assalamualaikum … Mas, Hanif … “
Sebuah suara merdu yang sangat akrab menyadarkanku kembali dari perjalananku mengingat masa lalu.
“Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh … “ balasku kepada wanita bergamis biru muda di hadapanku.
Kirana tersenyum. Sebuah senyum manis yang sesekali masih hadir di mimpi indahku.
“Apa kabar kabar, Hanif? Lancar perjalanannya?” tanya seorang pria di samping Kirana, sambil merangkulku sesaat.
“Alhamdulillah … baik, Mas Agus. Perjalanan lancar dan menyenangkan,” balasku sedikit gugup.
Dialah Mas Agus, asisten Dosen yang juga merupakan sahabat baikku.
Tanpa bisa kukendalikan. Terputar lagi kenangan di hari yang sangat menyakitkan itu.
“Hanif, apakah kamu berencana serius dengan Kirana?” tanyanya saat itu.
“Ada apa, Mas? Kok, tanya begitu?” Tak bisa kututupi rasa terkejutku.
“Orangtuaku meminta aku secepatnya menikah. Aku pribadi InsyaAllah sudah siap. Aku melakukah salat istikharah seminggu terakhir ini. Dan wajah yang selalu hadir setelahnya selalu saja wajah Kirana. Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin melamar Kirana,” terangnya.
Mendadak bumi yang kupijak terasa amblas dan menenggelamkanku ke dasarnya. Aku terbakar api cemburu juga kemarahan yang tak bisa kubendung.
Tapi juga tak bisa kutepiskan kenyataan bahwa selama ini, dan dalam beberapa tahun kedepan, aku masih belum bisa memberikan kepastian kepada Kirana. Rasanya sangat tidak adil jika terus kubiarkan Kirana menunggu.
“Lamarlah, Mas. Mungkin kalian memang berjodoh,” ucapku akhirnya.
Aku meyakinkan dalam hati, jika Kirana adalah jodohku, dia pasti akan menolak Mas Agus. Begitupun sebaliknya.
“Nissa, salim dulu sama Paman.” Ucapan Kirana lagi-lagi mengembalikan kesadaranku.
Ragu-ragu, gadis kecil berkerudung merah muda yang sebelah tangannya digenggam Kirana dan sebelahnya lagi oleh Mas Agus, berjalan mendekatiku lalu mencium tanganku.
“Gadis cantik ini siapa namanya?” tanyaku sambil berjongkok, menyamakan tinggi dengannya.
“Nissa, Paman,” jawabnya sedikit cadel dan dengan nada yang menggemaskan.
Demi mendapati sorot matanya yang lugu dan meneduhkan, hatiku tiba-tiba berkata,
“Memang harus seperti ini perjalanannya.”
Komentar
Posting Komentar