Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Keping 1 : Liburan yang Lebih Awal

26 Desember 2017 Tempat itu adalah restoran bintang 5 terbaik dan termewah di kota Jakarta. Lokasinya yang berada di rooftop sebuah gedung tertinggi, menjadikannya pilihan paling ideal untuk segala macam acara yang membutuhkan nuansa romantis. Beratapkan langit yang bertaburan bintang. Dengan pemandangan kota Jakarta di malam hari yang tidak pernah terlelap dan selalu semarak dengan jutaan kerlip lampu. Udara yang terasa dari atas sana adalah sekelumit kesegaran yang makin jarang bisa ditemui di kota Jakarta yang semakin tergerus polusi. Menu-menu makanannya adalah yang terbaik dan ciri khas dari berbagai kota besar di 5 benua. Bahkan bahan makanan dan koki nya pun langsung diimport dari negara tersebut. Tidak heran jika untuk bisa menikmati pengalaman makan mewah rasa 5 benua tersebut, para pengunjung kadang harus melakukan reservasi 1 minggu sampai 1 bulan sebelumnya. Rakha Pradhika menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat seksama untuk acara malam ini. Dia memesan buket bunga

Titik Nol Hati : Prolog

22 Desember 2018 Sampai tadi malam, dalam setahun terakhir ini, sosok itu hanya bisa hadir di mimpi Kana. Bagai sebuah legenda yang hampir mustahil dijumpai. Ingatan terakhir Kana tentang perpisahan dengannya, Ia simpan dalam sebuah ruangan di hatinya dengan sangat hati-hati, serupa memperlakukan lukisan berharga yang berusia ratusan tahun. Khawatir sedikit saja kesalahan dalam gerakan, bisa merobek kertas lapuknya. Kana tidak mau hal itu terjadi. Gambaran dalam lukisan itu terlalu indah.  Tapi kini tiba-tiba legenda itu mewujud nyata di hadapan Kana. Mengenakan setelan blue jeans dan kemeja abu-abu panjang yang digulung selengan. Simpel, tapi juga tak mampu menciutkan pesonanya yang terang benderang di tengah lalu lalang keramaian orang. Rakha Pradikha berjalan perlahan menghampiri Kana. Ketenangannya justru membuat jantung Kana berdebar makin tak karuan. “Kana, apa kabar?” tanya Rakha. Suara merdu itu kembali mengakrabi telinga Kana.  “Baik,” jawab Kana singkat, berusaha keras m

My First Love

Jo … Jo … Kudengar Lala memanggilku dengan panggilan sayangnya. Namaku sebenarnya Johan, tapi gadis manis berlesung pipi itu selalu memanggilku Jo. Aku yang sedang bersantai menonton televisi, bergegas menujunya yang berada di teras depan. Begitu sampai ke hadapannya, dia langsung mengelus pipiku. “Kudengar kau sudah berjasa membantu Ibu?” tanyanya. Aku hanya tersenyum, tidak mau menyombong atas apa yang sudah aku lakukan. Tentu saja aku berusaha keras dan mengerahkan segala kemampuan serta kecerdasanku guna menangkap Mike, pencuri yang selama seminggu terakhir sudah membuat keluarga Lala resah. Lala dan keluarganya sudah sangat berjasa dalam hidupku. Saat aku sendirian dan sakit, Lala yang saat itu baru pulang kuliah, datang menolong dan membawaku ke dokter. Ia bahkan meminta pada keluarganya agar aku diijinkan tinggal di rumah mereka. Tapi aku lelaki, masih punya harga diri. Meski aku sebatang kara, aku tidak ingin menjadi beban gadis yang telah memikat hatiku itu. Akupun menolak

Tentang Kirana

Setelah empat tahun, kujejakkan kembali kaki di kota Yogyakarta, tempatku menuntut ilmu semasa kuliah. Kota istimewa yang menyimpan berjuta rupa kenangan dalam salah satu episode kehidupanku, tentang cita-cita dan cinta. Adalah Kirana, adik kelasku di kampus yang sangat ayu dan cerdas, yang telah mencuri hatiku dan membuat kehidupan kampusku menjadi begitu indah penuh warna. “Kamu pasti tahu perasaanku,” ucapnya d isuatu sore. “Aku tahu, seperti kamu juga tahu perasaanku padamu,” balasku. “Kamu … tidak mau main ke rumah?” tanyanya ragu-ragu. Aku mahfum apa yang dimaksudkan Kirana. Selama ini aku beberapa kali mengunjungi rumahnya hanya ketika bersama teman-teman lainnya. Kirana ingin aku bertemu orangtuanya sebagai lelaki yang mencintai anak gadis mereka. “Maaf, Rana. Aku masih sibuk menyelesaikan skripsiku. Aku belum bisa menyempatkan berkunjung ke rumahmu.” “Baiklah, aku mengerti.” Ada semburat kecewa di wajah ayu yang sangat meneduhkan itu. Bagiku, sebenarnya skripsi hanyalah ala

Tangkuban Perahu dan Cantigi

“Dasar wanita licik!” Sangkuriang berteriak penuh kemarahan pada Dayang Sumbi yang sedang berdiri di hadapannya. “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku adalah Ibumu!” balas Dayang Sumbi. “Itu hanya alasanmu untuk bisa menolakku.” “Kamu sungguh telah dibutakan oleh nafsu dan ambisimu, Sangkuriang.” Kemarahan Sangkuriang semakin memuncak. Ditendangnya perahu yang sudah jadi itu hingga terpental dan tertelungkup. Dengan kekuatan yang dimilikinya, dihancurkannya bendungan yang hampir rampung dikerjakan itu. Seketika air memuncrat bersimbur, menggulung apa saja yang ada di hadapannya seperti air bah. Air terus mengalir membanjiri desa disekitarnya. Menenggelamkan rumah-rumah, para warga dan segala yang berada di dalamnya. “Keterlaluan!” pekik Dayang Sumbi. Hatinya dirundung duka mendalam melihat para warga menjadi korban murka anak semata wayangnya. “Itu akibat perbuatanmu sendiri,” sergah Sangkuriang. “Sang Hyang Tunggal akan menghukummu. Kahyangan tidak akan begitu saja membiarkan perbuat